tisdag 31 juli 2012

PINDAH RUMAH

bismillah



Meet my new home house of ideas:

http://ishlahunnafs.tumblr.com/

Wish there'll be better words there. See you all and happy Ramadhan mubarak! :D

onsdag 4 juli 2012

Cerita di Atas Awan

bismillah*

Pergi ke luar negeri lekat hubungannya dengan maskapai penerbangan. Walaupun ada alternatif lain juga, seperti menggunakan transportasi laut, bahkan dengan naik mobil seperti yang dijalani Nicolas Cazale dan Mohamed Majd dari Perancis menuju Arab dalam film Le Grand Voyage.

Selalu ada pengalaman menarik yang saya alami dalam setiap long-trip yang saya jalani. Lucu, mengharukan, mendebarkan, semuanya berkesan. Kesan indah dan ucapan terima kasih saya sampaikan kepada nama-nama yang tersebut dalam satu episode hidup saya di bawah ini.

Yogyakarta, 20 Januari 2011
Ini adalah pengalaman terbang saya yang perdana! Selama hampir dua puluh satu tahun hidup di bumi, saya tidak pernah mengalami berjalan di atas awan. Hingga saya tuliskan dalam daftar impian saya: "Naik pesawat gratis." di samping "Ke Eropa gratis." dan "Ke Bali gratis.". Walaupun kesannya cheapy alhamdulillah pada akhirnya terealisasi juga. Kala itu kawan-kawan dan saya ditugaskan oleh Fakultas Psikologi UGM untuk mengisi training di Universitas Udayana Bali. Selain gratis, dapat honor pula! Plus bonus kesempatan naik kapal feri untuk pertama kali. Hahahaaa... inilah yang saya sebut The Art of being Lucky.

Penerbangan perdana saya yang juga menjadi penjawab impian ke Eropa gratis merupakan pengalaman perdana saya 20 jam bersama Dhani, pasangan yang didaulat F.Psi UGM untuk ngundi ilmu di bumi Swedia. Kami menggunakan layanan maskapai penerbangan KLM, dari Jakarta menuju Kuala Lumpur lalu Amsterdam dan berakhir di Gotherburg. Bersyukur, kami berdua mendapatkan seat pinggir jendela yang hanya deret tiga, tidak di tengah yang berbanyak kursi dalam satu deret. Di ujung deret kursi dekat jendela, duduk seorang bule yang khusyuk membaca koran. Dhani duduk di tengah dan saya di sebelah kanannya. Sejak awal hari wajahnya murung, menyiratkan berat dan sedihnya hati meninggalkan her beloved one. Kami berdua tenggelam dalam diam. Saya sendiri masih berusaha berdamai dengan diri sendiri, terbayang-bayang wajah ibu yang berlinang air mata saat saya mengecup pipi sebelum check in beberapa jam yang lalu. Dalam diamnya, bersama titik-titik air matanya, saya dapat membaca kekhawatirannya, rasa rindunya yang sudah tumpah ruah bahkan sebelum saya hilang dari pandangan mata, kebanggaannya, dan cinta tulusnya yang akan semakin direalisasikan dalam doa-doa di penghujung malam.

Dhani masih diam. Saya pun membisu. Si bule masih asyik dengan korannya. Sebenarnya saya paling tidak suka momen semacam ini. Berada di dekat orang-orang tanpa obrolan. Saya sangat menghargai dan menikmati percakapan dengan siapapun tentang apapun, bahkan tentang cuaca yang oleh banyak orang Amerika dianggap membosankan... daripada diam. Sesaat sesudanya, serombongan manusia berbahasa Indonesia berisik mengambil tempat duduk di sebelah kursi saya. Saya tidak mengindahkan mereka sama sekali. Tiba-tiba Dhani yang sedari tadi memangku tas kecilnya berdiri. Dijinjingnya tas mungil berwarna coklat manis itu, hendak dimasukkan dalam bagasi di atas kursi kami.

"Dipangku aja, Dhan. Udah penuh,"kata saya mengingatkan.

"Bisa kok,"jawabnya singkat dan lirih.

Saat itu saya baru sadar sesadar-sadarnya bahwa Dhani memang sedang bersedih hati. Saya yang tidak pernah pacaran tidak bisa membayangkan sebelumnya dan kini melihat sendiri saksi hidup pelakon long distance relationship.

Dhani membuka tutup bagasi. Memang sudah penuh. Ada tas besar si bule dan dua tas tangan kami. Saya sendiri meletakkan ransel di bawah kursi (ternyata hal ini berbahaya utk proses penyelamatan saat bad thing happens di pesawat), namun Dhani nekat. Dijejalkannya tas ransel mungilnya itu lalu bagasi ditutup paksa. Dalam hati saya berdoa semoga tutup bagasi tidak jebol karena jika ada barang yang jatuh, hidung pesek saya yang akan menjadi sasarannya. Benar saja, sejenak menjelang take off, tutup bagasi berderak-derak. Duduk saya semakin tidak jenak. Saya menengadahkan kepala, memastikan posisi bagasi dalam kondisi yang aman (bagi saya). Saat mendongak itulah tiba-tiba... brak! Tutup bagasi njepat ke atas dan tas Dhani dengan indah (sekaligus kejam) terlontar keluar... buk! Terjun mendarat di hidung pesek saya seperti yang saya khawatirkan sebelumnya. Si bule terkejut dengan suara memilukan itu, lalu nyengir 'iuuuuww' ke arah saya yang mematung dengan mulut menganga dan kacamata melorot sebelah. Walaupun kecil, Dhani memaksakan seluruh benda yang mampu dimasukkan dalam tas itu. As usual, itu adalah adat utama para penumpang ekonomi: membawa benda yang tidak muat dimasukkan dalam luggage ke dalam hand-luggage karena tidak ditimbang petugas. Praktis, ekonomis, dan melanggar aturan.

Kepala saya berkunang-kunang. Hidung saya serasa tenggelam. Ekspresi keterkejutan dilontarkan beberapa penumpang di deret sebelah yang dari tadi ramai. Dengan santai nan gemulai Dhani mengambil tas kecil (tapi berat banget) itu lalu memangkunya, "Maaf."

Saat itu saya benar-benar ingin menjewer telinganya, protes kenapa minta maafnya tidak sungguh-sungguh padahal saya completely malu dengan kondisi pascatasterjunbebas. Beberapa saat sesudahnya, Dhani banyak bercerita tentang kondisi psikologisnya, dan barulah saya memahami serta memaafkannya karena Dhani sedang tidak 'here and now'.

Bumi masih berputar, pesawat tetap terbang. Semakin meninggalkan Kuala Lumpur, mendekati Amsterdam. Sebagian besar penumpang lelap tidur, termasuk Dhani, si bule, dan saya. Pramugari mulai mematikan lampu-lampu dalam pesawat, dan menyalakan lampu di permukaan lantai pesawat. Beberapa saat saya tidak sadar. Saya kira tidur (tidak sadar kok bisa mengira-ira ;p). Tiba-tiba kaki saya serasa menendang sesuatu. Duk!Terbukalah mata saya dan oh gosh! Saya sedang berdiri di depan tembok pesawat, pemisah kelas-kelas dalam pesawat. Dengan kepala pening dan kaki yang agak sedut-sedut pascamenendang tembok pesawat, saya memicingkan mata ke arah tulisan di tembok: ECONOMY COMFORT. What's in the world I'm living in! Saya membalikkan badan, seorang penumpang duduk dengan menyelonjorkan kakinya tepat di belakang saya, dia memandang saya curiga di balik kaca mata bacanya yang melorot. Sebuah buku berada di pangkuannya. Saya menjauhinya selangkah sambil memperhatikan lagi di mana saya berada. Beruntunglah saat tidur saya lupa melepas kacamata sehingga bisa melihat jelas dalam keremangan suasana. Ruangan ini terasa lebih longgar daripada tempat saya tidur tadi. Di ujung depan saya kembali saya baca judul ruangan ini:  ECONOMY COMFORT. Innallaha ma'ana, saya baru menyadari bahwa ini bukan kabin saya dan ternyata diri ini baru saja selesai melakukan ritual khas saat kecapaian: SLEEP WALKING! o.O

Segera saya berlari ke ujung ruangan itu, melewati pintu (baca: tirai) nya, memasuki kelas ECONOMY (tanpa comfort), dan berharap menemui sebuah kursi kosong yang di sampingnya Dhani sedang terlelap tidur. Alhamdulillah, di bagian belakang kabin saya mendapati apa yang dicari. Serombongan remaja laki-laki yang dari tadi ramai  sudah sunyi. Lelap juga akhirnya mereka. Segera saya duduk di kursi sambil mengatur nafas. Dhani masih nyenyak dalam balutan selimut biru donker KLM. Saya masih berusaha mengumpulkan nyawa setelah ritual baru saja. FYI, saya biasa mengalami sleep walking, sebuah gangguang ringan neurologi, terutama saat saya berada dalam kondisi sangat capai. Pernah suatu ketika, saat tim Cemara mabit di rumah saya untuk lembur persiapan training, kata Intan dan Nca saya berdiri dengan mata terpejam, bergumam memberi instruksi, lalu masuk kamar tidur. Semacam zombi! o.O

Pernah juga di suatu malam di Tunnlandsgatan 13, saat PPI Borås lembur mempersiapkan culture day, saya tertidur di sofa lalu kata teman-teman keesokan harinya: saya bangun dari sofa, mendekati Deo, dan mau memeluknya! Astaghfirullah, itu benar-benar membuat saya berdoa agar disembuhkan dari penyakit sleep walking. Beruntunglah Deo yang biasanya bersikap tidak masalah jabat tangan maupun berpelukan dengan perempuan, saat itu dia masih menghargai saya sebagai temannya yang tidak mau bersentuhan dengan laki-laki. Deo menghindar! Sungguh memalukan... T.T

Setelah sadar atas ritual yang baru saja saya jalani, akhirnya saya putuskan untuk salat Tahajjud. Si bule tidak menutup jendelanya dan dari intipan saya sepertinya belum terlihat semburat cahaya Fajar, which means masih bisa salat Tahajjud. Saya awali dengan tayamum (saya baru tahu bahwa ternyata di toilet pesawat itu airnya deras -dan banyak- dalam penerbangan pulang dari Swedia ke Indonesia. Saat berangkat saya tidak pernah menggunakan toilet pesawat dan lebih memilih toilet bandara transit shg saya selalu tayamum setiap solat. Ini adalah suatu kesalahan karena ketidakpahaman, jangan ditiru!). Sebuah suara mengusik telinga.

"Ooo... kayaknya lagi wudhu!"teriaknya setengah berbisik.

"Hmmm...,"sahut seorang lainnya, bergumam serak seperti hampir tidur.

Helloooo... dalam kondisi sesepi ini saya bisa mendengar suara kalian dengan jelas dan keras, apalagi kalian duduk di deret samping saya! Yang dari tadi ramai dan saya kira sudah tepar semua, ternyata masih menyisakan seorang yang tahan melek dan seoarang lagi yang kini saya perkirakan sudah beralih ke alam mimpi. Dengan teknik 'mata ayam' yang diajarkan di sesi tonti GVT dulu, saya melihat sosok remaja laki-laki itu bertayamum pula.

Usai tahajjud, saya mengambil Quran. Ternyata bocah di samping saya telah mendahului. Dengan bantuan lampu baca dari atas tempat duduknya, dia membaca sebuah Al Quran kecil, lirih, namun cukup jelas bagi saya untuk mengetahui bahwa bacaan Al Qurannya baik.

Saya yang gaptek (tapi gengsi) to the max, akhirnya mengambil hape dari tas dan memanfaatkan cahaya display hape untuk membaca Al Quran. Saya tidak tahu tombol untuk lampu baca di atas dan tidak mau membangunkan Dhani jika ramai memencet-mencet tombol di bawah persis bagasi atas kursi. Tanya sama bocah di samping? Aduh, malu :)) And now I find out that reading with phone light is the most embarassing. It's worst o.O

Usai membaca Al Quran saya kebingungan. Tidak mengantuk, sudah nonton film dan mendengarkan musik via KLM, tapi perjalanan masih sekitar lima jam.

"Mau ke mana?"tanya sebuah suara.

Saya menoleh. Oh, ternyata dari bocah itu tadi, yang sempat diberi julukan oleh Dhani sebelum tidur: adiknya Afghan... o.O

"Swedia. Kamu?"

"Perancis."

Dan begitulah. Seingat saya namanya Rizky, sedang dalam perjalanan ke Perancis dalam rangka lomba antar chef seluruh dunia. Dia lebih muda dari saya (entah berapa tahun sudah lupa ^^v) dan bekerja di sebuah restauran di Jakarta Selatan. Dia menyebutkan sesuatu tentang paman dan supervisor bulenya tapi saya tidak terlalu yakin apa yang dibicarakannya kala itu.

"Uzi pernah ke Eiffel?"tanyanya.

"Belum, tapi rasanya saya tidak suka. Bagi saya, apa indahnya melihat tower besi? Di sawah-sawah sekitar rumah saya juga banyak tower. Kalau dalam bahasa jawa kami menyebutnya sutet." (tentu saja percakapan sesungguhnya lebih puanjaaaang karena saya tidak pernah berkata-kata singkat ;p)

Rizky tertawa dan membalas, "Memang Swedia punya apa?"

Saya tertohok. Swedia memang tidak punya apa-apa kecuali salju yang itupun dipunya Perancis pula.

"Sebenarnya yang paling ingin saya kunjungi itu Inggris. London. Stamford Stadium, Chelsea vs MU."

Lalu berpindahlah obrolan kami dari Eiffel ke sepak bola. Lumayan nyambung juga dia membicarakan The Blues.

Obrolan dengan Rizky lumayan membantu melewatkan waktu. Saya mendapat insight darinya, ternyata bakat dan potensi anak-anak bangsa justru lebih diapresiasi oleh negara yang bukan Indonesia :'(

Tak terasa pesawat sudah landing di Schipol Airport, Amsterdam. Dhani, saya, dan berbanyak penumpang lainnya antre di ruas sempir antarderet kursi untuk keluar pesawat. Rizky berdiri di belakang saya. Saat hampir keluar pesawat, dia menepuk tas ransel saya.

"Ini untuk Uzi dan teman Uzi,"katanya sambil mengulurkan dua pin ini.


"Oh, terima kasih. Sukses di Perancis, ya!"kata saya sebelum akhirnya berpisah dengannya.

Dhani dan saya berganti pesawat KLM yang lebih kecil meuju Swedia sementara Rizky dengan pesawat yang lain menuju Perancis.

Meanwhile in the toilet....
Bergantian dengan Dhani, satu per satu kami menikmati fasilitas toilet bandara yang bersih dan mewah. Jika Dhani ke toilet, saya menjaga koper-koper, dan sebaliknya. Beruntunglah saya telah membaca Naked Traveler-nya Trinity, hadiah dari Mas Abi agar saya tidak gaptek Eropa. Jadi, dijelaskan dalam bukunya Trinity tsb bahwa toilet di Amsterdam itu otomatis, tidak ada tombol 'flush', tidak ada ember dan gayung, hanya tisu. *Apaaa? Lalu bagaimana cara mengguyurnya? Apakah perlu membawa segalon air mineral waktu ke toilet, atau harus ditimbun dengan tisu-tisu? Panicking.

Jika saya tidak membaca bukunya Trinity, bisa dipastikan saya akan melakukan jurus tarik-gulung-lempar tisu ke dalam lubang toilet. Alhamdulillah, saya sudah membacanya dan menjadi tahu bahwa cara mengguyurnya adalah dengan membuka pintu toilet. Ya, di bandara Schipol sistem flush toiletnya bersifat otomatis. Pengguna toilet tidak perlu 'membersihkan jejaknya', cukup membuka pintu toilet dan keluar. Gerakan terbukanya pintu toilet secara otomatis menjadi 'intsruksi' mengalirkan air di toilet, menyedotnya, dan menggantinya dengan air baru. Saya merasa ide ini sangat cerdas untuk mengantisipasi pengguna toilet yang lupa atau sengaja tidak mengguyur toilet setelah memakainya. Akibatnya, toilet tetap kering dan bersih. Walaupun memang tidak dapat mensucikan hadas. Dhani yang pernah tinggal di Australia bertahun-tahun mengajari saya tips ke toilet bagi seorang muslim: selalu bawa botol air mineral kecil jika bepergian. Kegunaan teknisnya, jika kita perlu ke toilet, sebelum masuk ke bilik pribadi tsb biasanya kan cuci tangan dulu, nah sekalian cuci tangan sekalian isi botol kecil itu. Kelak, air dalam botol ini untuk cebok karena tidak ada toilet yang menyediakan selang pancuran apalagi ember. Saya kira hanya di Indonesia saja  ada toilet modern tapi syar'i. Nah, keluar dari toilet cuci tangan pakai sabun, keringkan botol tadi, masukkan tas lagi. It's done! xD 


Keluar dari toilet, Rizky dan rombongan melintas. Dengan ceria dan penuh percaya diri, saya menyapa kawan baru saya tsb, "Heeeyy!"sambil melambai-lambaikan tangan.


Rizky menatap saya dengan senyum tertahan seperti tidak kenal. Seorang bule di sampingnya, kukira supervisor yang diceritakan tadi, mengerutkan dahi ke arah saya. Seorang bapak-bapak juga menatap penuh tanda tanya. Sekilas saja, lalu mereka melintas melewati saya tanpa kata.


Saya mematung. What the!! Apa maksudmu barusan, bocah tengil?? Seolah saya orang aneh yang sok kenal pada kalian. Kyaaaaa...!!!


-to be continued-  
______________________________________________
*prepared for our trilogy. Lucky if you read it here for free ;)