söndag 5 februari 2012

A Rendezvous: The Palestinian Doctor & Me


Bismillah.
Teringat saya tentang kejadian setahun lalu, tepatnya tanggal 13 Februari 2011. Saya sedang berada di dapur apartemen, bersiap masak sayur asam. Tiba-tiba terjadi kram perut yang menyebabkan saya reflek jongkok. Lama saya meremas perut bagian samping kiri yang terasa menegang. Beberapa kawan yang berniat memasak di dapur yang sama sempat khawatir dengan pose saya yang ‘nggak banget, deh!’ tersebut. Berangsur kram perut yang saya alami mulai reda. Namun hal itu terjadi lagi pada hari selanjutnya. Akhirnya saya putuskan untuk meminta Mbak Fitri Arkham Fauziah dan Mbak Alvi Syahrina agar menemani saya ke rumah sakit.
Hari itu adalah Ahad, di mana poli-poli di rumah sakit umum Borås tutup. Mbak Fitri yang notabene mahasiswi keperawatan UGM yang sedang menjalani exchange programme di Högskolan i Borås menyarankan agar kami segera ke Akutintag, semacam IGD di sana. Sesampainya di Akutintag yang berlokasi tak jauh dari apartemen kami di daerah Tunnlandsgatan, Mbak Fitri segera mendaftarkan saya di bagian administrasi. Cukup dengan menyodorkan passport, seorang bule paruh baya mengurus proses administrasi bagi saya. Kami diminta menunggu beberapa menit sebelum seorang perawat datang untuk melakukan triase pada saya. 

Perawat tersebut masih sangat muda dan berwajah khas Timur Tengah, hidung mancung, rambut hitam, dan kulit putih kemerahan. Dia sangat ramah. Dari obrolan singkat kami, kuketahui namanya Laila, seorang imigran dari Irak. Laila memimpin langkah kami menuju sebuah ruangan luas dengan banyak bed yang dipisahkan tirai-tirai kuning, sangat bertema IGD (kami memang sedang berada di IGD :p). Di sana saya diminta berbaring, lalu Laila menempelkan kertas di pergelangan tangan saya, kertas biru putih bertuliskan nama dan no pasien yang dibelitkan seperti gelang. Selanjutnya, Laila menempelkan sesuatu dalam telinga kiri saya, sebentar sekali. Mirip saat tes hemoglobin di UPTD RSUP Sardjito dulu, hanya ditekan pangkal alat itu lalu ujungnya mengenai bagian dalam telinga saya. Tentu saja ujung alat tidak runcing karena itu bukan alat piercing (ga lucuuu). Beruntung ada Mbak Fitri yang mafhum tentang medis berdiri di samping saya. Mbak Fitri menjelaskan pada saya bahwa alat tersebut adalah... TERMOMETER! Huahahahaaa... bahkan gaptek pertermometeran. Baru kali itu saya dapati termometer model bolpen yang dimasukkan ke dalam telinga. Alhamdulillah, saya tidak demam.
Beberapa saat kemudian Laila memasangkan alat semacam penjapit jemuran baju pada ujung jari telunjuk saya. Kembali saya toleh Mbak Fitri. Dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar beliau menjelaskan tanpa saya tanya: itu pengukur tensi! Saya menahan tawa. Sungguh selama ini dunia saya ternyata begitu sempit! Alhamdulillah tensi juga normal.
Laila menunjukkan pada kami suatu ruangan di mana saya akan diperiksa oleh dokter, tak jauh dari ruangan di mana ia melakukan triase tadi. Saya diminta BAK di toilet dalam ruang periksa itu untuk tes urin. Saya kira tipikal prosedur pemeriksaan awal di rumah sakit-rumah sakit di Swedia adalah tes urin. Seorang petugas kesehatan datang untuk mengambil urin dan menjelaskan bahwa hasil tes keluar sekitar 30 menit kemudian. Ia juga memastikan apakah saya sedang hamil. Tentu saja saya jawab tidak :D
Saya segera berbaring menunggu dokter. Di pojok ruangan, duduk Mbak Fitri dan Mbak Alvi sambil bercengkerama. Saya sendiri takjub dengan kemutakhiran IGD ini. Gumun. Lalu saya tersadar bahwa penampilan saya sungguh kontras dengan bling-blingnya IGD. Saya yang berapologi pada diri sendiri karena sedang sakit sehingga membolehkan diri untuk tidak mencuci dan menyetrika baju, menghasilkan penampakan saya yang compang-camping: kaos kaki abu-abu, rok jeans, kaos lengan panjang MANAGEMENT UNY pemberian adik, dan jilbab putih. Keseluruhannya berwarna mbladhus dan kusut karena saya salah menyetel mesin cuci sebelumnya (inilah yang disebut ndeso).
Tak lama kemudian, sesosok laki-laki muda berjas putih memasuki ruangan periksa. Posturnya tidak terlalu tinggi dan agak berisi. Rambutnya ikal berwarna hitam. Sepertinya dia berasal dari Timur Tengah.
“Hi, Fauziah. You are from Indonesia?”tanyanya memastikan, ramah sambil mendekatiku.
“Hi, Doctor. I am Indonesian.”
“It’s a pleasure to meet you. I am Walid (tuuut--ama keluarga disensor), your doctor. I am from Palestine.”
Jedug! Sontak saya bangun dari tempat tidur. Maksudnya, dari posisi berbaring menjadi posisi duduk selonjor di atas bed. Saya diliputi euforia yang sampai-sampai membuat saya lupa tentang sakit perut yang sedang saya alami.
“Really? Oh, God! I do want to go to your country! Are you from Gaza?”pekik saya girang.
Mbak Fitri dan Mbak Alvi cengar-cengir di pojok ruangan. Dokter Walid terhenyak.
“Yes, I came from Gaza.”
“Mashaallah, I really want to see your country. I do want to pray in Al Quds. I do want to meet HAMAS.”
“Yeah. I want to go back to Palestine but you know, nowadays it seems harder to get in Al Quds. You know, there are more and more israelian armies around Al Quds.”
Dokter Walid tercenung. Saya pun termenung mendengarkan kalimat terakhirnya.
“Someday I’ll go there, Doctor. I promise you. Inshaallah,”tekad saya dalam hati.
“So! What brings you here?”kata dr Walid tiba-tiba, berusaha mengembalikan alur pembicaraan ke trek yang seharusnya.
Dengan dibantu Mbak Fitri dan Mbak Alvi, saya menjelaskan tentang kram perut yang saya alami beberapa hari ini. Mbak Fitri menengarainya sebagai gejala diverkulitis atau radang usus, serta menceritakan riwayat gangguan pencernaan yang pernah saya alami. Dr Walid memeriksa saya sebentar dan membenarkan Mbak Fitri lalu meninggalkan ruangan dan akan kembali lagi setelah hasil tes urin keluar. Kami diminta menunggu sejenak.
Tiba-tiba saya sadar tentang kecompang-campingan penampakan saya. Jika saja saya tahu sebelumnya bahwa hari ini akan bertemu dengan seorang dokter dari Palestina, tentu saya akan merapikan penampilan. Jika saja... pasti.... Nah. Saya kira salah satu hikmah tidak boleh berandai-andai adalah untuk menjaga kesehatan mental individu agar tidak terjangkit virus mematikan bernama penyesalan. Namun tetap saja saat itu saya merutuki kelalaian saya dalam menjaga penampilan. Ditambah lagi saat itu saya belum mandi karena kedinginan (suhu saat musim dingin bisa mencapai -20oC) dan datang ke IGD tanpa make up sama sekali (definisi make up adalah krim pelembab wajah dan lip balm agar kulit wajah serta bibir tidak terkelupas karena kering). I was so rombeng perfectly!
Beberapa saat kemudian dr Walid masuk kembali dalam ruangan. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan berdasarkan hasil tes urin saya. Dr Walid menawarkan opsi apakah saya perlu obat penghilang rasa sakit jika sewaktu-waktu perut saya kram lagi. Saya mengiyakannya. Dr Walid menuliskan resep suatu obat untuk saya beli di apotek IGD. Obat dengan dosis rendah, separuh dari dosis yang biasa diresepkan dokter di RSUP dr Sardjito, kata Mbak Fitri. Konsumsi obat itu juga hanya saat terjadi kram perut saja.
Sesaat kemudian dr Walid bercerita kembali tentang Palestine dan keinginannya berlibur ke Indonesia dan Malaysia suatu saat nanti. Beliau juga menanyakan program apa yang kami ikuti sehingga kami bisa berada di Borås, apa yang sedang kami pelajari, sampai kapan belajar di Hogskolan i Borås, dll. Keramahan yang tidak basi! Lalu beliau memperkenankan kami untuk pulang. Beliau keluar ruangan periksa, sementara kami mengucapkan terima kasih dan saya berbenah. Saat kami bertiga meninggalkan ruang periksa menuju apotek, kami melewati sebuah ruangan dengan pintu terbuka. Saya menoleh ke arah ruangan tersebut. Di dalamnya, dr Walid duduk menghadap komputer. Saya tersenyum ke arahnya, tanda terima kasih terakhir sebelum saya meninggalkan IGD.
Mei, 2011.
Saya membuka kotak pos bernomor kamar apartemen yang saya tempati. Sebuah surat tagihan dari IGD. Sistem pembayaran di Swedia memang mayoritas melalui bil yang dikirimkan pihak apartemen/rumah sakit. Dalam bil tersebut berisi tagihan tertanggal sekian dengan jumlah sekian, yang harus kita lunasi sebelum tanggal sekian ke nomor rekening sekian. Jadi tidak dibayar seketika itu juga saat kita menempati apartemen ataupun datang ke rumah sakit.
Mata saya mencermati surat tagihan itu, tagihan biaya periksa di IGD tertanggal April 2011. Memori saya otomatis flash back. Bulan April 2011 saya memang ke IGD lagi untuk ke-2 dan ke-3 kalinya karena dehidrasi, semua makanan dan minuman tidak mau diterima lambung saya. Diagnosanya, winter vomitting disease. Tertera di sana, Läkare: ..., Elizabeth (lupa nama belakang dokter yang memeriksa saya kala itu). Saya lihat total tagihannya lebih dari SEK 5.000 (SEK 1 = Rp 1.300,00). Alhamdulillah saya tinggal membayar SEK 400 untuk biaya administrasi di IGD sementara sisa tagihan covered by asuransi kesehatan.
Saya telisik lagi tagihan itu. Mencari-cari tulisan Läkare: *tuut*, Walid. mencari tagihan tertanggal 13 Februari 2011. Tidak ada! Mungkin terselip di kotak pos. Saya cari-cari lagi. Tidak ada! Bulan depan saya akan pulang ke tanah air. Hanya tersisa bulan ini bagi saya untuk melunasi segala tagihan dsb karena bulan depan saya akan menutup rekening SwedBank. Saya cermati lagi surat tagihan dari IGD. Hanya ada tagihan pembayaran periksa dr Elizabeth! Di manakah tagihan dr Walid? Padahal saya periksa di IGD yang sama, sama-sama hari Ahad, dengan prosedur pemeriksaan tidak berbeda. Akhirnya saya menyerah dalam mencarinya. Kesibukan saya dalam menyelesaikan laporan penelitian menyita waktu dan perhatian saya. Pun, sejak kepulangan saya di tanah air setengah tahun lalu hingga kini, tidak saya terima surat tagihan biaya periksa dr Walid :’)
Yaa Allah, berkahilah profesi dr Walid… berkahilah hidupnya dan keluarganya… dan masukkanlah ia beserta orang yg menyayangi maupun ia sayangi ke dalam golongan hamba-Mu yg sedikit. Amiinn…
Teruntuk ayahanda Maryam, Omar, dan ke-3 adiknya yang lain: may Allah let us meet each other again in a better chance, in a better place... Al Quds. Baroka allahu fiikum.


Inga kommentarer:

Skicka en kommentar