onsdag 21 december 2011

KENAPA KUNAMAI ANAKKU IBRAHIM AL-FATIH

Sejak pertama kali mendengar kisah Al-Fatih jaman SMA dulu, langsung tertekad dalam hati untuk menamai anak saya kelak--insyaAllah--: Ibrahim Al-Fatih :) Gabungan dari Ayahnya Para Rasul dan Sultan yang selalu membuat hati jedak-jeduk saat dikisahkan tentangnya. Dan malam ini, tiba-tiba saya ingin mengutip tulisan indah akannya. Sebuah pengingat, bahwa pernah ada pemuda selaligus pemimpin secemerlang ia dalam sejarah kejayaan Islam. Sekaligus penegur, tidak ada kata 'nanti' bagi kita untuk membaguskan kualitas hati dan diri. Sekarang dan saat ini!


Bukan kita yang memilih takdir
Takdirlah yang memilih kita.
Bagaimanapun, takdir bagaikan angin
Bagi seorang pemananah
Kita selalu harus mencoba
Untuk membidik dan melesatkannya
Di saat yang paling tepat
-Shalahuddin Al Ayyubi-



Obsesi  tujuh abad itu begitu bergemuruh di dada seorang Sultan muda, baru 23 tahun usianya. Tak sebagaimana lazimnya, obsesi itu bukan mengeruhkan, melainkan semakin membeningkan hati dan jiwanya. Ia tahu, hanya seorang yang paling bertaqwa yang layak mendapatkannya. Ia tahu, hanya sebaik-baik pasukan yang layak mendampinginya.


Maka di sepertiga malam terakhir menjelang penyerbuan bersejarah itu ia berdiri di atas mimbar, dan meminta semua pasukannya berdiri. ‘Saudara-saudaraku di jalan Allah”, ujarnya, “Amanah yang dipikulkan ke pundak kita menuntut hanya yang terbaik yang layak mendapatkannya. Tujuh ratus tahun lamanya nubuat Rasulullah telah menggerakkan para mujahid tangguh, tetapi Allah belum mengizinkan mereka memenuhinya. Aku katakan pada kalian sekarang, yang pernah meninggalkan shalat fardhu sejak baligh silahkan duduk!”

Begitu sunyi. Tak seorangpun bergerak.

“Yang pernah meninggalkan puasa Ramadhan, silahkan duduk!”
Andai sebutir keringat jatuh ketika itu, pasti tak terdengar. Hening sekali, tak satu pun bergerak.

“Yang pernah mengkhatamkan Al Qur’an melebihi satu bulan, silahkan duduk!”

Kali ini, beberapa gelintir orang perlahan menekuk kakinya. Berlutut berlinang air mata.

“Yang pernah kehilangan hafalan Al Qur’an-nya, silahkan duduk!”
Kali ini lebih banyak yang menangis sedih, khawatir tak terikut menjadi ujung tombak pasukan. Mereka pun duduk.

“Yang pernah meninggalkan shalat malam sejak balighnya, silahkan duduk!”
Tinggal sedikit yang masih berdiri, dengan wajah yang sangat tegang, dada berdegub kencang, dan tubuh menggeletar.

“Yang pernah meninggalkan puasa Ayyamul Bidh, silahkan duduk!"
Kali ini semua terduduk lemas. Hanya satu orang yang masih berdiri. Dia, sang sultan sendiri. Namanya Muhammad Al Fatih. Dan obsesi tujuh abad itu adalah Konstantinopel.

Sejak kecil, ia berada dalam bimbingan Syaikh Aaq Syamsuddin. Mufti di istana Sultan Murad itu sering membacakan untuk Al Fatih sebuah hadist Rasulullah dari ‘Abdullah ibn ‘Amru ibn Al ‘Ash. Suatu ketika, sahabat Rasulullah yang zuhud, putra penakluk Mesir itu pernah ditanya,”Mana yang lebih dulu dibebaskan, Konstantinopel ataukah Roma?” Syukurlah ‘Abdullah pernah mencatat, bahwa Rasulullah ketika ditanyai pertanyaan yang sama menjawab,”Kota Heraclius lebih dahulu. Yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pasukan. Dan pemimpinnya adalah sebaik-baik panglima.”

Hadist ini begitu menggelorakan Al Fatih kecil, menguasainya, dan membeningkan dirinya untuk menjadi sebaik-baik panglima, atau setidak-tidaknya menjadi anggota sebaik-baik pasukan. Ia menjauhi kehidupan mewah istana, berguru kepada para ulama, beribadah dengan khusyu’nya.

“Ya Allah, jadikan aku sebaik-baik pemimpin, atau sebaik-baik prajurit!”,pintanya dalam doa. Tiap pagi, dari puncak perbukitan di Bursa, dia memandang ke seberang utara Laut Marmara, kearah Konstantinopel.


Konstantinopel. Visi yang bening itu menguasai Al Fatih. Membuatnya mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tak dinyana manusia. Seperti ketika dengan kayu gelondongan yang dilumuri lemak sapi, disebrangkannya kapal-kapal perang memasuki perairan Konstantinopel lewat darat karena sebelumnya sulit ditembus dari perairan.


Di jalan cinta para pejuang, kita membutuhkan visi yang bening untuk mengokohkan jiwa dan merambatkan cita.
(Jalan Cinta para Pejuang halm. 142-144 -Salim A. Fillah)

*taken from http://www.facebook.com/note.php?note_id=490194571593
follow my twitter: @fauziahwahdhani
facebook: http://www.facebook.com/cantabile.uzzy

Inga kommentarer:

Skicka en kommentar