fredag 9 mars 2012

GOOD PEOPLE STILL EXIST

bismillah.

Berawal dari 2 pekan terakhir yang penuh kepenatan. Tugas kuliah menggunung, merasa salah jalur (fokus perkembangan yang terbanting setirnya ke arah psikologi klinis), jadwal medical check up yang semakin bertumpuk-tumpuk, proyek dengan kawan lintasjurusan maupun dosen yang makin terbengkalai, amanah di luar kampus yang makin terserak, ukhuwwah dengan saudara yang terseok-seok, iman yang terus saja merosot, dan urusan di rumah yang tambah tak terjamah. Argh!! Dunia seolah enyah, dan saya berada di planet antah-berantah. Suasana macam apa ini? Sendiri. Hanya disibukkan dengan urusan-urusan pribadi. Kontribusi? Ah, serasa asing diperdendangkan hati. Saya... disibukkan urusan-urusan dengan diri sendiri. Hingga tangis terasa mahal, rintihan pada Tuhan makin jarang. Waktu, energi, emosi, mengarah pada satu titik: diri sendiri. Sungguh tragis, bukan?

Khoirunnas anfa'uhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. The best people are those who are the most useful to others.

Doa terfavorit saya pun menjadi: Yaa Allah, sibukkanlah diri ini dengan urusan agama-Mu. Jadikanlah hidup singkat ini menjadi kemanfaatan bagi agama-Mu, bagi ummat Rasul-Mu.... saking desperate nyaaaa, tidak bisa melakukan apa-apa bagi orang lain. Saya mencoba apply beberapa job yang sekiranya dapat saya wakafkan sebagian pemikiran saya di dalamnya. Namun sayang, tidak ada yang menerima. My need of affiliation is at the highest level now! I will die if I'm not seeing others! 

Hingga siang ini, qodarullah, saya bertemu dengan seorang sahabat. Kami ngobrol, saling curhat. Dan dia menganggapi celetukan saya "Jangan-jangan... sekarang aku telah menjelma menjadi sampah dunia yang tidak bisa berbuat apa-apa bagi sesama." dengan kalimat singkatnya: "Uz, ayo ikut aku ngeles sore ini!"

Dan you know what? Ternyata tempat les-lesan sahabat sekaligus saudara saya itu adalah sebuah rumah surgawi. Di mana sepasang suami istri yang meninggalinya, telah sepakat mewakafkannya untuk pendidikan inklusi sejak tahun 2009. Setiap sore, mereka mengajar sekitar 50 anak-anak SD bersama beberapa pengajar volunteer. Di penghujung siang setiap harinya, rumah itu menjelma menjadi Sanggar Belajar INKLUSIF. Anak-anak normal dan berkebutuhan khusus pun belajar bersama di sana. Saya trenyuh. Hati pun luluh. Ada anak-anak slow learner, autis, tunarungu, tunawicara, dan ADHD di sana. Ada anak-anak reguler. Semua belajar bersama. Menyenangkan. Mengharukan. Menyemangati para pengajar. Ya, mereka justru menyemangati kami. Semangat mereka menghidupkan gairah dalam hati-hati kami.

anak-anak hebat menunggu pembagian snack sebelum pulang ^^
Saya punya cita-cita: mendirikan School of Parenting di Indonesia dan akan memperjuangkannya hingga kelak menjadi sistem wajib yang memiliki kekuatan hukum di negeri ini. Karena apa? Saya pikir, berbagai masalah yang dihadapi generasi muda bermula dari kondisi keluarga yang tidak sehat. Apapun itu. Dan saya menyimpulkan, pendidikan keorangtuaan seharusnya wajib dikuasai sebelum pasangan memutuskan untuk memiliki anak. Entah itu diputuskan secara sengaja maupun karena 'kecelakaan'. Rumus universalnya kan, iLmU MeNdaHuLUi aMaL.  

Belakangan saya sempat ragu dalam mengusahakannya. I mean, hellooooo... siapa aku? Semampu apa aku? Apa Indonesia, dunia, benar-benar membutuhkan sekolah ini? Apa mimpiku tidak berlebihan? Ditambah lagi, beberapa kawan yang kuceritai mimpi ini, satu per satu mulai menertawakan. Namun, kunjungan ke Sanggar belajar INKLUSIF sore ini justru memberikan saya jawaban: 

THERE IS NO 'LATER'. IT IS ABOUT 'NOW OR NOTHING'

Tidak perlu menunggu kaya untuk memberi. Tidak perlu menanti mampu untuk berkontribusi. Tidak usah mencari waktu senggang untuk menebar kebaikan. Justru... make time! Live where we are now. Hiduplah untuk masa kini, saat ini, detik ini. Persembahkan apa yang terbaik yang mampu diusahakan. Apapun itu. Semoga setiap nafas yang terhembus adalah kemanfaatan.

Meneladani Bu Ammy. Beliau seorang pengajar di Bina Anggita, sekolah khusus untuk anak-anak autis di Yogyakarta. Jam mengajar beliau biasanya hingga pukul 2 siang. Setelahnya? Beliau mewakafkan diri untuk mengajar di sanggar belajarnya. Hingga kapan? Bahkan sampai matahari tenggelam, petang menghadang. Apakah beliau kaya? Tidak. Rumah beliau bukan tipe gedongan. Namun beliau kaya, sangat kaya ladang dan lahan kebaikan. 

Ibu Ammy, mbak mas pengajar, dan ABK tersayang ^^
Keteguhan hati Bu Ammy dalam menjalani rejekinya sebagai pendidik di sekolah dan rumah, telah membuahkan hasil. Dua anak autis yang belajar di sanggarnya telah menggapai banyak kemajuan di bidang kognitif dan sosio-emosional. Beberapa anak slow learner tidak merasa minder dan kini gigih belajar. Anak-anak reguler lainnya, kini belajar berempati dan bersimpati terhadap sesama. Dan yang jelas, seluruh anak kini bersemangat belajar. Orang tua mereka, dengan penuh rasa syukur dan terima kasih, gratefully say thank you to Ibu Ammy for the lesson she tought today, tiap kali mereka menjemput anak-anak. Raut bahagia, wajah penuh kesyukuran dari para orang tua... oh, adakah yang lebih indah daripadanya?

Bu Ammy dan suami beliau telah mengajari saya, untuk senantiasa berkontribusi bagi sesama. Apapun bidangnya, seberapapun cakupannya. Saat ini juga! Tidak perlu menunggu nanti. Yes, good people still exist. 

Dan saya tetap bermimpi, Indonesia akan subur dengan benih-benih School of Parenting yang kelak akan menjadi satu bagian dari sejarah kebangkitan moral negeri ini. Belum banyak yang bisa saya lakukan sekarang, namun semoga Allah menguatkan hati-pikiran-diri untuk mengusahakannya. Sekecil apapun, sesederhana apapun itu. Mulai saat ini.




 




2 kommentarer:

  1. like this!
    ah~ tohokan di tengah-tengah sibuk dengan dunia sendirii T^T

    SvaraRadera
    Svar
    1. heheee... samma, yuz! aku juga tertohok dengan untaian waktu yang dijalani Bu Ammy sehari-hari... barokallahufiikum, iyuz. semoga waktumu adlh kemanfaatan bagi sesama ^^

      Radera