onsdag 30 maj 2012

CUICUAAK

bismillah.

Beberapa waktu yang lalu saya mengalami bloody presentation, di mana berturut-turut saya harus mempresentasikan bab tertentu di kelas psikologi emosi, psikologi kognitif, dan modifikasi perilaku. Benar-benar mblenek. Dan saya merasa sangat diuji oleh Allah dalam presentasi tersebut, terutama pada bab systematic desensitization yang kawan-kawan sekelompok dan saya sampaikan di kelas modifikasi perilaku.

Disensitisasi sistematis adalah salah satu teknik cognitive behavioral therapy (CBT) yang konon katanya efektif untuk menangani fobia. Singkatnya seperti ini:


Saya pun pernah mempraktekkannya terhadap adik-adik sepupu saya pada zaman dahulu kala, saat Ayun masih berusia 5 tahun dan Kayla berumur 3 tahun. Mereka adalah korban kekejaman zaman (?). Sebagaimana perasaan takut adalah hasil dari proses belajar, begitu pula yang terjadi pada anak-anak manis itu. Mereka takut laron setengah hidup! Sejarahnya, Ayun sering ditakut-takuti laron oleh simbah waktu kecil. Respon netralnya terhadap laron pun berubah menjadi ketakutan. Setiap kali hujan turun, bisa dipastikan sesudahnya Ayun menjerit-jerit ketakutan melihat laron-laron bermunculan dan beterbangan. Jadi, Ayun belajar ekpresi emosi takut terhadap laron dari simbah. Nah. Kayla, adiknya, melihat kakaknya ketakutan bukan kepalang terhadap laron, belajar juga darinya. Modeling, begitu kata teori social learning-nya Bandura.

Saya yang waktu itu belajar sedikit sekali tentang disensitisasi sistematis di kelas psikologi kepribadian, tertantang untuk mengamalkannya. Semoga bukan malpraktek ^^v. Pada suatu malam usai hujan deras dan laron pun bertebaran di seantero kampung, terdengar suara menjerit-jerit dari kakak beradik itu (lebay). Akhirnya saya minta ibunya untuk memangku mereka berdua. Dengan berbekal bacaan basmalah dan kitab psikologi kepribadian, saya mulai menerapkan teknik terapi ini. Mulanya saya pegang seekor laron, saya dekatkan ke arah mereka. Jerit-jerit histeris, meraung-raung menangis (tenin iki, ra ngapusi!). Setelah saya pahamkan bahwa laron tidak akan menggigit mereka, akhirnya mereka mulai bisa menguasai diri. Saya dekatkan lebih dekat lagi laron itu, mereka panik, saya pahamkan lagi dengan bahasa sederhana, mereka mulai tenang. Begitu seterusnya hingga mereka berhasil memegang sayap laron dan akhirnya seekor laron utuh! Fyuh! Alhamdulillah wa syukurillah, walaupun memakan waktu sejam lebih, akhirnya dua bocah itu jadi ketagihan laron sampai sekarang :))

Pun saat seorang mahasiswa kedokteran UMY mengaku fobia kecoak dan meminta bantuan saya untuk mengatasinya. (Astaghfirullah, saya sadar betul bahwa saya belum berlisensi psikolog dan sepertinya memang telah melakukan malpraktek. Tapi kalian yang memaksa saya lho dengan alasan kalau ke psikolog bayarnya mahal kalau ke mahasiswa gratis! o.O). Alhamdulillah, dengan metode yang sama dengan di atas, klien (wush! istighfaaaaaarr...) saya tsb akhirnya tidak pingsan lagi saat melihat kecoa. Walaupun ada satu hal yang saya lewatkan dalam setiap sesi: pelatihan relaksasi. Mohon maaf dan ridhanya atas khilaf ini... ^^v

Nah. Waktu presentasi di kelas modifikasi perilaku, terbersitlah sindiran terhadap diri sendiri: "Kamu tu berteori banyak tentang desensitisasi sistematis. Berani ga menerapkannya pada diri sendiri? Katanya, Allah ga suka sama orang yang mengajarkan ini-itu tapi dirinya sendiri ga melaksanakan?" Ya, saya mencibir diri sendiri karena saya termasuk jamaah al-fobiyyah (wa hipokondriyyah). Tepatnya terhadap cicak. Saya tidak ingat mulai kapan takut cicak, yang jelas kalau melihat cicak bawaannya merinding dan pingin muntah. Itu masih mending daripada adik saya, yang kalau ada cicak di kamar mandi lebih baik tidak usah mandi daripada harus seruangan dengannya. Wkwkwkwk.... Eh. Jangan-jangan kamu belajar takut cicak dariku ya, Nduk? *gulung2 :))


Cicak cicak di dinding
diam diam merayap
datang seekor nyamuk... hap!
lalu ditangkap

Sepulang dari kuliah modifikasi perilaku, saya menuju parkiran motor. Suasananya lumayan ramai, jam pulang kuliah berbanyak mahasiswa. Segeralah saya pakai helm. Sebagai pengendara yang baik, helm saya pakai hingga berbunyi 'klik'. Saya tengok melalui kaca spion, ternyata banyak yang antre di belakang menunggu saya segera hengkang dari pandangan. Wajarlah kiranya, karena ruas jalan keluaran parkiran bersama fpsi-feb sangat sempit.

Dan di sanalah tragedi mengerikan itu terjadi....

Berhubung kaca helm saya tidak bisa dinaikkan, selalu saja turun menutupi muka, maka begitu pula yang terjadi saat saya mulai melajukan motor perlahan menuju pintu keluar parkiran, diikuti banyak motor di belakang saya. Dan saat kaca helm saya turun itu... tampaklah seekor makhluk gemuk genyuk-genyuk nongkrong dengan santainya di kaca helm bagian depan. Cicak! Cicak! Cicak! Dari tadi dia sembunyi di antara kaca helm dan bagian helm yang mancung di depan-atas (saya tidak tahu nama-nama bagian helm). Wuh. Wuh. Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!! Ada cicak tepat di depan mata kiri saya, tak lebih dari 15 cm jaraknya. Itu rasanya seperti... seperti.... habis minum dulcolax 5 butir sekaligus.... lemes to the max. Tapi berbeda tentu saja dengan sensasi lemes saat mendengarkan suara empuknya kyuhyun... xD

Cognitive appraisal saya mengisyaratkan bahwa makhluk mengerikan itu, jika tidak hati-hati mengusirnya dari helm, dia akan berontak dan masuk ke mulut lalu saya mati (efek nonton film horor thailand: Phobia 2). Diusir dengan sekali kibasan tangan? Oh, tentu saja: NO WAY! Saya akan merasa tangan saya telah terkontaminasi racun paling dahsyat sejagad raya sehingga harus diamputasi. Na'udzubillah. Alternatif terbaik untuk melakukan cicak-exorcism adalah dengan membuka tali pengaman helm yang tadi berbunyi 'klik' secara sangat pelan-pelan agar jangan sampai dia kaget lalu berlari panik masuk ke dalam kaca bagian dalam helm dan selanjutnya masuk ke mulut saya yang menganga berteriak panik, lalu melepas helm dengan amat perlahan, dan mengibaskannya sekencang-kencangnya agar cicak itu jatuh. Sedangkan di belakang saya antre berbanyak motor untuk segera keluar dari parkiran.

Akhirnya saya putuskan untuk keluar dari tempat parkir dengan kecepatan dimik-dimik agar si cicak tidak kaget dan panik, sambil menahan nafas karena sangat mual dan tangan saya sudah super duper tremor. At least saya tidak mendzalimi antrean motor di belakang. Sesampainya di depan kantin bonbin FIB, saya sudah tidak kuat lagi menahan nafas. Itu adalah pengalaman menahan nafas terlama bagi saya! Naik motor berkecepatan cacing ngesot dari parkiran fpsi hingga depan bonbin. Si cicak masih kalem sementara saya semakin lunglai. Lalu... bismillah! Buka pengaman helm dengan amat sangat hati-hati sekali: klik! Lepas helm dengan sangat cepat: set! Dan.... prak prak prak prak prak praaaaaakk!!!! Dengan sadis saya pukul-pukulkan helm ke bagian samping lampu depan motor. Si cicak langsung mencolot ke rerumputan di pinggir jalan lalu berlari menjauhi saya yang kayak orang kesetanan dan akhirnya menghilang. Saya masih khusyuk memukul-mukulkan helm walaupun saya tahu cicaknya sudah lenyap. Hanya saja, bayangan cicaknya itu masih bergelayut-layut menyebalkan di pikiran saya. Bisa dibayangkan? Melihat akhwat di pinggir jalan, sendirian, memukul-mukulkan helm di bagian depan motornya... lama? Ckckckck... sungguh terlalu!

Tidak usah ditanya, di TKP saat itu juga, saya langsung pingin muntah. Bahasa jawanya, mulek-mulek. Jadi sudah berpose dan bergestur hoek-hoek tapi tidak ada yang keluar. Bayangan di depan berkunang-kunang. Nggliyer puooool.... Beberapa saat saya tidak dapat menguasai diri. Sekujur tubuh tremor, bawaannya prindang-prinding di seluruh tubuh. Sesak yang menghasilkan nafas-nafas pendek, cepat, dan tak beraturan, nampaknya karena serangan takikardi tingkat tinggi (sok beranalisis). Saya sempat berharap agar pingsan saja daripada bergaya prakesurupan di pinggir jalan.

Inilah jawaban dari cibiran saya tadi di kelas modifikasi perilaku: TIDAK, SAYA BELUM BISA MENERAPKANNYA PADA DIRI SENDIRI. Astaghfirullahal 'adhim.... Yah, walaupun pengalaman yang baru saja saya alami lebih pada flooding daripada disensitisasi sistematis, toh intinya sama: terapi terhadap fobia.

Usainya, saya tidak pernah memakai helm itu ke kampus. Walaupun itu melanggar prinsip saya untuk taat aturan lalu lintas di manapun kapanpun, saya tidak merasa bersalah sedikitpun. Saya merasa lebih aman secara psikologis untuk tidak mengenakannya. Secasa fisik tentu saja itu berbahaya. Dan terima kasih kepada Mas Kresna dan Mbak Wati yang mengundang saya ke walimahan mereka sehingga mau tidak mau saya harus mengenakan helm dalam menujunya. Alhamdulillah, sekarang sudah berani pakai helm.

Tadinya mau saya pasang gambar cicak: utuh tampak depan,
hasil penelusuran gugel tapi ternyata saya belum berani. 
Melihat gbrnya saja langsung sesak nafas, merinding smp kaki. 


Kesimpulannya?
>> sebagian mahasiswa psikologi adalah pasien rawat jalan di fakultasnya, ada jamaah al-fobiyyah, hipokondriyyah, anorexiyyah wa bulimiyyah, skizofreniyyah, bahkan salah seorang teman saya dikomentari bu dosen sebagai orang yang inferiority complex karena perilakunya yang merasa serba salah xD
>> psikologi memang selayaknya utk kita, bukan utk anda.
>> jika beredar di dunia maya, gambar akhwat berpose geje di pinggir jalan depan kantin FIB, mohon diberitahukan kpd saya krn ybs telah menyebarkan aib tanpa informed consent model ybs xD
>> dibuka kesempatan mjd terapis pribadi saya wa bil khusus untuk penanganan fobia cuicuaak... xD

2 kommentarer:

  1. Haha setuju Uzzy...

    Saya juga perlu waktu super lama untuk bisa menanggulangi ketakutan mengendarai motor, gara-gara trauma dulu pernah jatoh dari sepeda... Baru di tahun keempat aja berani belajar motor, pake metode desensitisasi :P...

    SvaraRadera
  2. High five, mb tan... ternyata kita tiada jauh berbeda ya... :3
    hahahaa... mmg joss itu disensitisasi. daripada flooding ;)

    SvaraRadera