lördag 21 april 2012

Barokahnya Hidupku: YAKIN?

bismillah. 'ala kulli hal.

inspired by this insightful note and these very nice words.

Tidaklah kelapangan rezeki dan amalan diukur dengan jumlahnya yang banyak, tidaklah panjang umur dilihat dari bulan dan tahunnya yang berjumlah banyak. Akan tetapi, kelapangan rezeki dan umur diukur dengan keberkahannya.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Jawabul Kafi hal. 56)



Kalimat Ibu Qayyim di atas begitu kaya makna bagi saya. Begitu pentingnya keberkahan dalam hidup manusia, hingga mampu menadirkan arti angka-angka. Sering sekali kita mendengar ucapan "Baroka allahu fiikum" atau "Barokallahu fii umrik". Pernahkah kita meresapi doa mulia tsb ataukah justru makna yang ternetra sebatas untaian kalimat sederhana?

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim 1/225 menjelaskan lebih lanjut tentang makna barokah, bahwa asal makna keberkahan adalah kebaikan yang banyak dan abadi."

Dalam aplikasinya, keberkahan tentu saja dapat diupayakan di setiap kontribusi kita pada kebaikan. Bahkan, harapannya, setiap nafas yang kita desahkan, setiap langkah yang kita tapakkan, dan setiap kata yang kita ucapkan, semoga ada kemanfaatan di dalamnya. Ya, kemanfaatan. Bukankah keberkahan tidak dapat dipisahkan dari kebaikan dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain?

Sayangnya, kata Ustad Syathori, tantangan dai hari-hari ini adalah kecenderungan menghitung-hitung kuantitas aktivitas dakwah dan kurang mengindahkan esensi dakwah itu sendiri. Saya setuju dengan pendapat tersebut. Betapa banyak aktivis dakwah yang terperangkap dalam stigma memperbanyak jamaah, memasivkan  binaan, melipatgandakan syuro' dst, namun makna dari apa yang dilakukan lambat laun kian kabur. Inilah, yang kata Ustad Solihun, menyebabkan banyak aktivis syuro' jadi ngantukan di forum kajian maupun kelas perkuliahan. Lebih lanjut, Ustad Solihun menjelaskan bahwa banyak aktivis syuro' yang bahkan kebutuhan syuro' itu melebihi kebutuhan makan (krn lebih dari 3x sehari :p) tapi saat aktivis syuro' mengikuti perkuliahan justru mengantuk, bahkan di forum-forum kajian tidak sedikit yang teklak-tekluk. Apakah salah? Well, bukankah seharusnya, jika syuro' maupun kegiatan-kegiatan bernuansa dakwah lainnya diniatkan untuk ibadah maka efeknya adalah menyemangati para pelakunya? Sebagaimana sholat, tilawah. Siapa sih, yang tidak menjadi lebih antusias dan bertambah energinya setelah melaksanakannya? Karena, begitu penjelasan lanjutan Ustad Solihun, kita meniatkannya sebagai ibadah langsung kepada Allah. Langsung berhubungan dengan Allah. Nah, pertanyaannya, jika syuro' dsb justru membuat tiada berdaya a.k.a loyo, adakah yang perlu direvisi dari niatan tadi? Maka jawabannya kembali lagi kita pada hadits arba'in no 1: niat. Urgensi niat dan definisi operasionalnya sangat berhubungan dengan keberkahan. Yang halal belum tentu barokah, yang haram pasti tidak barokah. Begitu ujar Pak Fauzil Adhim.


Nah, sementara sebagian orang disibukkan dengan rentetan agenda kebaikan namun kehilangan esensi dari apa yang dilakukan, sebagian yang lain cenderung apatis karena merasa tidak ada yang perlu diperbaiki di sekitarnya. How come? Coba kita hitung, ketika ada isu kebencanaalaman, perbandingan jumlah relawan dan kongko-wan? Atau, dalam cakupan kampus, siapa hayo yang masih peduli pada organisasi kampus, BEM/LDK/dst? Saya lihat selama kurun 4 tahun terakhir, di psikologi sendiri, jumlahnya kok semakin turun ya. Salahkah? Kan, pilihan. Oh iya, betul sekali! Hidup itu pilihan memang, namun setiap pilihan memiliki resikonya masing-masing. Di akhirat besok, ditanya tidak ya tentang IPK kita? Atau bobot kemanfaatan kita yang akan ditimbang? Tidak usah jauh-jauh ke alam baka, mari kita tengok sejenak dunia kerja. Pentingkah cumlaude? Atau justru track record kualitas kemanfaatan kita selama berhubungan dengan orang lain?

Ketika seseorang merasa kondisi lingkungan sekitarnya ideal setiap saat tanpa perlu perbaikan, sebenarnya jawabannya sudah disampaikan oleh Benedict Cumberbatch setiap kali berhasil menebak kondisi orang di sekitarnya dalam serial film Sherlock: "I'm not a mind reader. I only do observation." Tentu saja, makna observasi tidak sekedar melihat namun mengamati. Dengan demikian, proses observasi membutuhkan atensi. Kecermatan, kepekaan, perhatian, dan optimalisasi penggunaan panca indera menjadi penting. Nah, saya kira, ketika kita mau dan berusaha untuk mampu mengobservasi lingkungan sekitar, akan tampak nyata sekali apa-apa yang butuh perbaikan. Perbaikan dalam rangka kebaikan.

Maka, di manakah posisi kita saat ini? Adakah kita termasuk yang apatis? Ataukah yang disibukkan dengan agenda kebaikan namun mulai kehilangan makna kebaikan? 

Semoga, kita termasuk orang-orang yang berniat teguh dalam mewakafkan diri dalam kemanfaatan, lalu optimis terhadap proses perbaikan masyarakat, bahwa kondisi baik itu selalu bisa dicapai. Selanjutnya, bertotalitas dalam kontribusi yang dapat kita berikan. Sekecil apapun itu, semoga tetap ada semangat totalitas-profesional di dalamnya sehingga dapat membesarkan kemanfaatannya. As I wrote beforeprofesionalitas menjembatani keinginan pragmatis dan harapan utopis.

Dan yang terakhir, semoga Allah senantiasa menguatkan kita dalam meningkatkan kapasitas kebaikan yang dapat kita berikan kepada orang lain, kepada masyarakat, kepada Indonesia, kepada dunia. Allahu a'lam bish-showab.

Baroka allahu fiikum, semoga keberkahan Allah senantiasa membersamaimu (:

Salam optimis-kontributif-progresif,
//

P.S.:
buku "Robohnya Dakwah di Tangan Da'i" karya Syaikh Fathi Yakan sangat direkomendasikan untuk dibaca dan dipelajari

Inga kommentarer:

Skicka en kommentar