måndag 2 april 2012

The Story of Me and Mas Al-Fath


bismillah.

Setelah off sejenak dari dunia blog karena jadwal manggung yang lumayan mengagetkan beberapa waktu terakhir, mulai dari duet bareng Dmitriy di kelas isu perkembangan hingga manggung feat. André dan Andreas di SLBN 1 Yogyakarta, alhamdulillah sekarang bisa nulis lagi.

Ada pengalaman lucu sekaligus manis selama saya menjadi pengajar di Sanggar Belajar Inklusif. Sekitar satu pekan lalu, sehari menjelang Nyepi, Sanggar Belajar Inklusif sepi sekali. Kata Bu Ami, memang jadi tradisi anak-anak untuk meliburkan diri jika keesokan harinya adalah tanggal merah (lol). Hanya ada empat anak di sana, Kayla (2 tahun), Al-Fath (7 tahun), Amel (3 tahun), dan Rafi (9 tahun--kalau tidak salah). Staf pengajarnya terdiri dari Bu Ami, Mas Eko, Nca, dan saya sendiri. Jadi masing-masing kami handle satu orang anak. Baru beberapa saat kemudian, satu per satu anak-anak lain menyusul datang. Benar-benar satu per satu, bukan serombongan. Jadi memang saat itu sepi sekali kondisinya.

Awalnya saya menangani Kayla. Berhubung usianya masih dua tahun dan ingusnya ke mana-mana (?), akhirnya hanya saya ajari menggambar garis bebas. Tadinya saya minta ia menyambung garis yang nantinya akan membentuk abjad-abjad berurutan. Ternyata masih terlalu sulit baginya. Saya jadi curiga jangan-jangan Kayla berpotensi menjadi slow learner. Astaghfirullah... na'udzubillah. Duh, jangan ya Nak, ya. Maaf maaf. Sempat terpikir seperti itu karena Kayla sangat moody. Swing banget mood-nya (?). Dan sangat sulit memahamkan instruksi kepadanya. Jika membandingkan dengan sepupu saya yang juga bernama Kayla, saat ini berusia 5 tahun, Kayla sepupu saya ini cepat sekali memahami instruksi dan proses belajarnya juga cenderung kilat dengan perkembangan kompetensi kognisi-emosi yang pesat. Tapi memang tidak bisa serta-merta membandingkan juga sih. Karena banyak faktor yang membentuk kualitas seorang anak, termasuk asupan nutrisi dan pola asuh.

Nah, senangnya mengajari Kayla murid saya di Sanggar Belajar Inklusi, dia sangat percaya diri. Walaupun saya meminta A dan dia mengerjakan B, dia selalu tersenyum bangga menunjukkan hasil karyanya pada saya. Ini adalah sebuah harapan bagi seorang guru. Isu self-esteem siswa lebih menarik dan berharga daripada kognisi. Somehow. Dan lucunya, Kayla memanggil saya "Bu Mbak" :D Ceritanya, Kayla selalu memanggil saya Bu padahal saya belum menikah dan lebih suka dipanggil Mbak (now i do realize that i have some regressions in my developmental stages). Akhirnya Kayla yang keukeuh memanggil saya Bu dan saya juga istiqomah menyarankan agar dia memanggil saya Mbak, memutuskan bahwa nama saya adalah "Bu Mbak". She calls me like that, till now :)

Dalam kurun waktu 1 jam Kayla sudah lelah dengan proses belajar. Wajar sih, ya. Dia yang berusia 2 tahun sudah menggambari beberapa halaman bukunya, mewarnai, dan akhirnya nyanyi-nyanyi. Akhirnya Kayla pamit pulang. Saat itu Al-Fath yang tadinya di-handle Bu Ami melirik saya lalu mulai bergeser tempat duduk menuju saya. Oh, ternyata dia sedang belajar matematika.


Mas Al-Fath saat oubound :)


Dengan percaya diri, saya mengambil alih proses bimbingan belajar Al-Fath. Pelajaran matematika. Ah, gampang. Alhamdulillah, Al-Fath juga mulai paham konsep pembagian dan perkalian. Lalu beralih ke LKS IPA. Pertanyaan demi pertanyaan di LKS-nya  mulai sulit saya jawab, terkait akar nafas dan akar tunjang. Oh Tuhan, ternyata saya begitu menjiwai IPS hingga hampir seluruh pelajaran IPA SD telah terlupakan. SMP dan SMA masih lah ya, ingat... beberapa. Nah, akhirnya saya bertanya pada Mas Eko dan Intan yang waktu itu datang kemudian. Mereka menjelaskan pada saya. Saya jelaskan kembali pada Al-Fath.

Hingga tiba pada pertanyaan di salah satu halaman LKS berbunyi "Mengapa matahari disebut sebagai sumber panas terbesar di bumi?" ziiiiing... krik. krik. Pertanyaan macam apa itu? What the... (lmao). Saya ngakak. Al-Fath melongo memperhatikan saya.

"Jadi jawabannya apa?"

Deg.

"Ya, matahari memang sumber energi panas terbesar. Ngapain dipertanyakan...,"jawab saya.

"Oh, kowe ki ra iso njawab to. Wuuuu guru kok ra iso njawab!"katanya dengan muka polos dan ekspresi datar.

Sontak Bu Ami dan Mas Eko yang berada di dekat saya menertawai saya.... Guru kok ga bisa jawab... Guru kok ga bisa jawab... Dear Earth, please swallow me now.... TwT

Akhirnya Mas Eko mengambil alih Al-Fath. Saya sendiri terpuruk dalam kesedihan (?). Yaa Allah, ada apa dengan memori saya? Di mana kematangan emosi yang seharusnya saya miliki? Di mana kompetensi kognisi yang seharusnya saya kuasai?

Eh... belum juga 15 menit Al-Fath meninggalkan saya menuju mas eko, kucluk-kucluk dia datang lagi menghadap saya.

"Mbak, aku diajari yo."

"Nggih, tapi Mbak Uzi ga mau menjawab kalo Mas Al-Fath manggil Mbak Uzi 'kowe'. Niku mboten sopan, Mas. Mulai sekarang, Mas Al-Fath memanggil saya 'Mbak Uzi' bukan 'kowe', oke?"

Bu Ami tertawa memperhatikan kami.

"Hla aku kie ra iso boso jowo!"

"Nggih sami, kula nggih dereng saged basa jawi. Makanya yuk, sekarang belajar bahasa jawa saja!"ajak saya.

Singkat cerita, akhirnya Al-Fath belajar bahasa jawa dengan saya. Dia masih melakukan bullying terhadap saya sbg gurunya (please ya dek, saya pingin nguyel-uyel pipimu). Lucu juga selama Al-Fath belajar bahasa jawa. Karena Al-Fath bukan orang jawa asli, ayahnya seorang chinese dan ibunya orang palembang, logat bahasa jawanya jadi lucu. misalnya saat dia membaca "Pitike ngendhog ing....", kalimat itu dibacanya menjadi "Pitik ke ngendhoging ....". Jadi, agak ngapak dan malembang gitu... (rofl) Tapi jawabannya selalu tepat. Bahkan saya justru beberapa kali menjawab salah dan Al-Fath membetulkan jawaban saya. Please deh ya, masa saya yang hampir 22 tahun masih harus menghafalkan nama-nama kandhang kewan... o.O (rasionalisasi.com)

Setelah selesai mengerjakan 15 soal bahasa jawa, Al-Fath pamit pulang. Alhamdulillah, ternyata sore ini dia mampu belajar tiga mata pelajaran sekaligus: matematika, IPA, dan bahasa jawa.

Saat sesi evaluasi setelah proses KBM usai, mas eko bercerita kalau Al-Fath tadi menangis saat ditangani oleh beliau. Makanya waktu itu dia langsung balik lagi ke saya dan minta diajari oleh saya saja daripada mas eko. Mas Eko memang merasa agak galak waktu mengajari Al-Fath dalam kurun waktu 15 menit tsb. Bu Ami membenarkan hal tersebut. Kata Bu Ami, Al-Fath memang labil emosinya. Hal ini kemungkinan karena pola asuh orang tuanya yang kurang sehat. Al-Fath biasa dititipkan pada tetangga-tetangga dan cenderung takut pada ibu bapaknya. Menurut Bu Ami dan Bapak, ini yang kemungkinan membuat Al-Fath kurang mengerti sopan-santun dan cenderung takut pada orang asing.

Nah, herannya kami, saya baru pertama kali handle Al-Fath dan dia langsung lekat dengan saya... (bangga...bangga!!!) Yah, walaupun saya harus korban hati juga menjadi korban bullying nya. Gpp, semua itu butuh proses dan setiap proses mensyaratkan kurun waktu tertentu. Jadi memang harus sabar. Untuk sementara, capaian Al-Fath yang mau belajar hingga tuntas pada setiap sesi belajar di Sanggar Belajar Inklusif  saya kira sudah lebih dari cukup. Sudah baik. Ke depannya, target saya adalah mengajarinya tentang sopan santun, bahasa komunikasi yang baik. Juga, tentu saja, meningkatkan keberaniannya dalam mengambil resiko. Bismillah, semoga Allah mengaruniakan kesempatan dan kekuatan dalam diri saya dan kawan-kawan di Sanggar Belajar Inklusif. Juga untuk anak-anakku tersayang, Mas Al-Fath, Mbak Kayla, Mbak Hanin, dan Mas Hanif serta anak-anak yang lain... tetap belajar, sayang... semoga dengannya kalian bisa lebih mengenal Tuhan :)

Love you as always,
Bu Mbak Uzi

mas al-fath dan mbak gita sedang estafet karet :)


  

Inga kommentarer:

Skicka en kommentar